GfM7TSA8TfMiTpM6GSG7BSzlGd==

Breaking News:

00 month 0000

Mengingat Kembali Kasus Oriental Circus Indonesia: Realitas HAM yang Terbungkam

Lk
Font size:
12px
30px
Print

Penulis: Aqila Salma Zhafira

Jakarta, detikline.com - Hak Asasi Manusia merupakan fondasi universal yang menjamin martabat dan kebebasan setiap individu. Melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menekankan perlindungan terhadap segala bentuk eksploitasi, kekerasan, dan perbudakan modern.

Namun, realitas sering kali bertentangan dengan idealisme ini, terutama dalam sektor hiburan yang seharusnya menyenangkan.

Salah satu kasus mencolok adalah dugaan pelanggaran HAM di sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), yang diduga memiliki hubungan erat dengan Taman Safari Indonesia (TSI), sebuah destinasi wisata populer di Bogor, Jawa Barat.

Kasus ini mencuat kembali pada April 2025, ketika delapan mantan pekerja sirkus, sebagian besar perempuan paruh baya, melaporkan pengalaman eksploitasi sejak 1970-an kepada Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham).

Laporan ini bukanlah yang pertama. Komnas HAM telah menangani pengaduan serupa sejak 1997, namun penyelesaiannya mandek, meninggalkan luka mendalam bagi korban.

Perbudakan Modern dan Luka Psikologis

Menurut berkas DPR Komisi XIII, mantan pekerja sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) dikabarkan melaporkan kekerasan secara fisik, pelecehan serta eksploitasi yang dialami para pekerja OCI selama bertahun tahun pada 15 April 2025.

Butet, salah satu mantan pekerja sirkus mengaku telah di eksploitasi semenjak 1970-an. Dipisahkan dari keluarganya sejak kecil, Butet tidak pernah mengetahui nama pemberian orang tuanya, bahkan berapa usianya saat ini karena pihak OCI tidak pernah memberikan atau membuatkan identitas untuknya.

Butet mengaku tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Butet dan beberapa pekerja sirkus lainnya juga mengaku pernah dijejali kotoran hewan, dipukuli, dan ketika melanggar peraturan yang dibuat OCI, pekerja akan diberikan hukuman yang buruk seperti dirantai menggunakan rantai gajah.

Bantahan dari Founder OCI dan Komisaris TSI terkait penyiksaan panjang kepada pekerja sirkus

Jumpa Pers, Kamis (17/4/2025). Tony Sumampau, Founder OCI dan Komisaris TSI mengaku bahwa tahun 1970-80-an memang masanya mendisiplinkan anak anak dengan cara keras, seperti dipukul rotan apabila para pekerja malas atau kurang bertenaga saat pelatihan.

Sumampau mengaklaim bahwa pada masa itu, kultur pendisiplinan menggunakan rotan di sirkus maupun diluar sirkus adalah hal biasa.

Sumampau merasa tidak ada eksploitasi maupun perbudakan yang dilakukan pihak OCI kepada pekerja. Ia beranggapan bahwa laporan yang diterima Kemenham hanyalan pernyataan sensasional yang diceritakan hanya untuk menarik simpati publik.

Respon Kemenham untuk Menuntaskan Pelanggaran HAM Pekerja Sirkus OCI

Dilansir dari HukumOnline (13/5/2025), Kemenham telah memberikan 4 jalur rekomendasi penyelesaian utama. Pertama, penyelidikan oleh Komnas HAM berdasarkan UU No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Jika kerangka tidak terpenuhi, penyelidikan bisa dilanjutkan dibawah UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Kedua, penyidikan pidana oleh Bareskrim Polri. Polisi diminta mengusut pemberhentian operasi sirkus OCI secara de facto dan mengumpulkan dokumen dari pendiri sirkus terkait pengambilan anak-anak dari keluarganya.

Ketiga, pemulihan melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan anak (KemenPPPA) dengan menyediakan layanan trauma healing. Keempat, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas permintaan resmi DPR.

Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, dengan tegas menyatakan dukungan penuhnya terhadap langkah tegas yang diambil oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam menangani kasus ini.

Menurutnya, peristiwa yang terjadi bukan sekadar aksi kekerasan yang dilakukan oleh individu tertentu, melainkan merupakan cerminan nyata dari kegagalan sistemik negara dalam memberikan perlindungan maksimal terhadap anak-anak Indonesia.

Ia menilai bahwa kasus ini mengungkap betapa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor seni pertunjukan, sehingga memungkinkan praktik eksploitasi anak, baik secara fisik, psikis, maupun seksual terus berlangsung di balik dalih “kreativitas seni” atau “tradisi budaya”.

Mafirion menekankan bahwa negara telah gagal menjalankan amanah konstitusional untuk melindungi segenap anak bangsa dari segala bentuk perlakuan yang merendahkan martabat, terutama ketika eksploitasi tersebut diselimuti oleh kemasan pertunjukan atau industri hiburan yang seolah-olah sah dan artistik. Rill/Red

Reaksi:
Baca juga:
ads banner
ads banner