Oleh: Ki Jumanta, Pakar Potensi dan Spiritual
Jakarta, detikline.com - Perjalanan bangsa ini terus menghadirkan tantangan yang tidak ringan.
Dalam beberapa tahun terakhir, amanat penderitaan rakyat seakan berteriak semakin nyaring.
Banyak warga yang bergulat dengan kesulitan ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, hingga melemahnya rasa keadilan akibat perilaku hukum yang dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai luhur.
Sebagai seorang pemerhati potensi bangsa dan spiritualitas masyarakat, saya memandang bahwa kondisi ini tidak boleh dibiarkan menjadi luka berkepanjangan.
Ketegangan sosial dan kemerosotan ekonomi bukan hanya persoalan angka, melainkan tanda bahwa nilai kemanusiaan kita sedang membutuhkan peneguhan kembali.
Calon Gubernur 2029, Heikal Safar, dalam berbagai kesempatan berbicara tentang “amanat penderitaan rakyat” dan pentingnya membangkitkan kembali kepedulian sosial.
Gagasan itu, bagi saya, menyentuh inti persoalan kebangsaan hari ini.
Kepedulian bukan sekadar retorika ia adalah energi spiritual yang mampu menggerakkan masyarakat bangkit dari kelelahan kolektif.
Indonesia pernah kaya raya dalam sektor pertanian. Kemandirian pangan, kejayaan hasil bumi, hingga kekuatan ekonomi desa menjadi bagian dari identitas bangsa.
Namun perjalanan panjang membuat banyak potensi itu redup. Yang diperlukan kini bukan hanya regulasi dan kebijakan, tetapi gerakan moral.
Saya menyebutnya Gerakan Seribu Kepedulian: gerakan yang lahir dari hati, ditopang oleh kesadaran spiritual bahwa bangsa ini tumbuh ketika rakyat saling menguatkan.
Kepedulian terhadap petani, pedagang kecil, buruh harian, dan masyarakat yang hidup pas-pasan harus kembali menjadi arus utama pembangunan.
Gerakan ini tidak berdiri atas nama satu tokoh atau kelompok. Ia milik seluruh anak bangsa.
Namun ketika ada figur publik yang menggaungkan kepedulian sebagai nilai dasar pembangunan, itu patut disambut sebagai dorongan positif bagi perubahan.
Perbaikan ekonomi tidak hanya membutuhkan kebijakan cerdas, tetapi juga jiwa kepemimpinan yang peka terhadap penderitaan rakyat.
Kepemimpinan seperti itu tumbuh dari kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan anugerah pribadi.
Harapan saya sederhana: siapa pun yang kelak memimpin, termasuk mereka yang kini telah memproklamirkan diri sebagai calon pemimpin daerah untuk 2029, hendaknya menempatkan kepedulian sebagai kompas utama.
Rakyat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kehadiran, kejujuran, dan keberpihakan.
Gerakan seribu kepedulian harus menjadi doa kolektif kita. Dari ladang-ladang yang dulu subur, dari pasar yang pernah makmur, dari wajah-wajah rakyat yang menunggu uluran perubahan. Bangsa ini hanya akan bangkit jika saling peduli. Rill/Lk

0Komentar