Jakarta, detikline.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat kembali menggelar sidang lanjutan sengketa tanah di Perumahan Puri Gardenia I...
Jakarta, detikline.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat kembali menggelar sidang lanjutan sengketa tanah di Perumahan Puri Gardenia II RT 007 RW 001 Kelurahan Pegadungan, Kecamatan Kalideres.
Persidangan kali ini menghadirkan saksi ahli pakar hukum agraria dan pertanahan, Prof.Dr. B.F Sihombing dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta Selatan yang dihadirkan oleh pihak penggugat, Achmad Benny Mutiara selaku ahli waris.
Adapun saksi ahli dihadirkan untuk memberikan keterangan tentang fakta-fakta yang bermaksud membenarkan dan menguatkan gugatan penggugat.
Dalam sidang berlangsung panas dan perdebatan mengenai persoalan sertifikat Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 16008 dan 16007 yang dijual ke Pemprov DKI oleh PT Tamara Green Garden selaku pihak pengembang Perumahan Puri Gardenia II.
Dimana pihak penggugat menyatakan berdasarkan keterangan dari Kepala Dinas Pertanaman dan kehutanan Pemprov DKI pada tahun 2020.
Dalam hal ini, saksi ahli B.F Sihombing menyebut PT. Tamara Green Garden sebagai pengembang berkewajiban memberikan sebagian lahannya kepada Pemprov DKI untuk dijadikan fasos dan fasum.
"Jadi fasos fasum itu tidak bisa diperjualbelikan seenaknya, itukan fasilitas umum untuk penghuni atau warga di daerah setempat," ujar dia saat dimintai keterangannya kepada wartawan di Pengadilan Negeri, Jakarta Barat, Rabu (30/8/2023).
"(Di kasus Kalideres) kalau dijual lagi itu sudah bertentangan dengan hukum karena itu sudah kewajiban developer tanpa membayar sepeserpun dan kepada siapapun, harus diserahkan full ke Pemda DKI ke biro aset," sambung Sihombing.
Dalam persidangan, Sihombing pun menyarankan pihak penggugat maupun tergugat melaporkan dugaan pidana ini kepada pihak Kejaksaan.
"Iya bisa lapor Kejaksaan, nanti Kejaksaan akan memploting lokasi tersebut, rekonstruksi melakukan pengukuran pengembalian batas," katanya.
Sihombing juga menerangkan adanya pengukuran ulang oleh Kejaksaan.
"Diukurlah pengembalian batas ini berapa luas untuk fasos fasum. Kalau dijual ya tangkap langsung di borgol," paparnya.
Sementara itu, Madsanih Manong, kuasa hukum Achmad Benny Mutiara selaku penggugat mengatakan keterangan ahli yang dihadirkannya semakin menjelaskan bahwa memang ada cacat administrasi dan hukum terkait pembelian lahan tersebut.
Sebenarnya, dalam kasus ini, Madsanih hanya meminta kepada PT Tamara Green Garden untuk membayarkan ganti rugi lahan kliennya yang dicaplok pihak pengembang, yang keberadaannya kini jadi fasum fasos milik Pemprov DKI.
Padahal, ia mengklaim kliennya memiliki sejumlah legalitas yang sah atas lahan tersebut.
Pada Tahun 2017, pihak kelurahan Pegadungan juga telah mengeluarkan surat bahwa lahan tersebut masih bersengketa.
Namun pada tahun 2018 ternyata lahan tersebut telah diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta untuk fasos fasum.
Dan ternyata Pemprov DKI diduga membeli lagi lahan tersebut melalui proyek pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) tahun 2018.
"Karena dari gugatan kita bahwa kita meminta agar proses pengadaan ini, jual beli antara tergugat 1 antara Pemprov DKI dengan PT Tamara Green Garden, dengan adanya lahan klien kami yang belum dibayar ini catat administrasi dan kami meminta agar hakim mengabulkan segera karena dianggap tidak memenuhi ketentuan," beber Madsanih.
Adapun adanya dugaan Pemprov membeli lahannya sendiri yang terungkap dalam persidangan, Madsanih menyebut hal itu sudah masuk ranah hukum yang berbeda.
Dia pun meminta Pemprov DKI harus bertindak jika merasa dirinya juga adalah korban dalam kasus ini.
"Satu sisi klien kita belum dibayar ganti rugi, di sisi lain ada satu permainan yang mengakibatkan kerugian di Pemprov DKI," ucapnya.
Tentunya dalam hal ini Pemprov DKI dirugikan, karena menggunakan uang negara dan harus segera melaporkan ke aparat berwenang.
"Jadi jangan diem, jangan pasif, seolah-olah merasa tidak bersalah," ungkap Madsanih.
Madsanih menegaskan pihaknya sejatinya siap musyawarah dengan Pemprov DKI untuk sama-sama menyelesaikan konflik ini, namun dia menyebut tak pernah ada respon dari Pemprov DKI.
"Saya mau dipanggil oleh Pemprov untuk di klarifikasi, kan sampai kini tidak. Akhirnya yudikatif atau pengadilan yang membuka ini," jelasnya.
Kalau Pemprov DKI diam, ini kerugian negara ratusan miliar, kok diam. Sudahlah ini sudah jaman keterbukaan, saya berharap ke Pj.Gubernur DKI menyikat oknum-oknum ini segera memproses hukum," tambah Madsanih.
Sementara itu, tim Biro Hukum Pemprov DKI, Mindo enggan berkomentar terkait jalannya persidangan.
"Tadi sudah denger sendirilah, ok makasih," tutur Mindo sambil berjalan meninggalkan area Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Sidang kasus ini bakal dilanjutkan pada 8 September 2023 dengan agenda pengecekan ke lokasi yang kini tengah bersengketa. *Lk