Oleh: Retno Listyarti (KPAI) Publish: lala/detikline Jakarta, detikline.com - KPAI mencatat sejak 2014 terjadi sejumlah kasus pemaksaaan ma...
Publish: lala/detikline
Jakarta, detikline.com - KPAI mencatat sejak 2014 terjadi sejumlah kasus pemaksaaan maupun pelarangan jilbab di satuan pendidikan.
Seorang siswi SMAN di Sragen berinisial S diduga mendapatkan perundungan dari guru matematikanya karena tak memakai jilbab.
Guru matematika bernama SW akhirnya minta maaf usai diadukan ke polisi oleh keluarga S.
Orang tua S, AP mengadukan dugaan perundungan ini ke Polres Sragen karena anaknya mengalami tekanan psikis. S dimarahi di depan kelas hingga akhirnya enggan berangkat ke sekolah.
Usai kejadian tersebut S sempat mau untuk berangkat ke sekolah. Namun, karena diduga dibully oleh kakak kelas, S minta dijemput pulang dan enggan masuk sekolah lagi.
S juga memiliki adik yang bersekolah di tempat yang sama, adiknya pun akhirnya tidak berani sekolah juga.
"Atas kasus ini, saya selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam atas pembullyan yang dilakukan oleh oknum guru," ujar Retno Listyarti.
KPAI juga mencatat bahwa ada kasus serupa di Gemolong, Sragen pada tahun 2020, siswi tersebut akhirnya mutasi ke SMAN lain setelah mendapatkan pembullyan terus menerus, terutama oleh kakak kelas.
Menurut Retno, kasus saat ini secara umum menunjukkan bahwa literasi dan moderasi beragama di dunia Pendidikan masih belum cukup baik.
Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan maupun pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan symbol dan identitas kepada pihak lain.
"Sehingga, diperlukan pelatihan menginternalisasi dan penguatan skill bangaimana mengembangkan literasi dan moderasi beragama pada saat yang akan datang, baik dilingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas," terang Retno.
Lanjut Retno, masih sedikit kehadiran pemimpin pemimpin nasional dan local yang bijaksana. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Karena kebijaksanaan, mereka tidak mewajibkan yang tidak wajib. Sebaliknya mereka jangan melarang hal yang tidak seharunya dilarang hukum positif yang berlaku di negeri yang majemuk ini.
Kemudian, kata Retno, meskipun aturan pemakaian seragamnya jelas, namun bukan cuma muncul kasus pemaksaan, muncul pula kasus pelarangan penggunaan jilbab, setiap tahun pelajaran baru.
"Misalnya : Gunungsitoli Sumatra Utara (2022), seorang Kepala Sekolah di tempat ini, melarang seorang murid kelas VI memakai jilbab dengan alasan keseragaman, karena murid sekolah ini sebagian besar beragama Kristen dan Katolik," ujarnya.
KPAI mencatat sejak 2014 sampai dengan 2022, terdapat sejumlah kasus pelarangan jilbab bagi peserta didik yang terjadi di sejumlah daerah, diantaranya adalah:
1. Bali, ada dua SMAN di Denpasar dan satu SMPN di Singaraja yang melarang peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala ke sekolah (2014)
2. Satu SMAN di Maumere Sikka, NTT (2017)
3. Satu SD Inpres di Wosi Manokwari, Papua (2019)
4. Satu SDN di Gunungsitoli, Sumatera Utara (2022)
Selain, ada juga sejumlah kasus mewajibkan jilbab bagi peserta didik, diantaranya:
1. Satu SMPN di Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur (2017)
2. Satu SMAN di Rantah Hilir, Riau (2018)
3. Satu SDN di Karang Tengah, gunung kidul (2019)
4. Saatu SMAN di Gemolong, Sragen (2020)
5. Satu SMKN di Kota Padang, Sumatera Barat (2021)
6. Satu SMAN di Banguntapan, Bantul (2022)
7. Satu SMPN di Jakarta Selatan (2022)
“Padahal melarang maupun mewajibkan peserta didik menggunakan jilbab merupakan pelanggaran hak-hak anak," ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI.
Dan berikut rekomendasi dari KPAI:
1. Segala bentuk kekerasan verbal, psikis, fisik dan seksual merupakan kekerasan yang dapat terjadi di satuan pendidikan dengan pelaku pendidik, peserta didik maupun tenaga kependidikan. Namun, setiap kali terjadi kekerasan, satuan pendidikan kerap kali tidak merujuk pencegahan dan penanganannya berdasarkan Permendikbud No. 82 tahun 2015.
Oleh karena itu, Kemendikbudristek harus menguatkan sosialisasi ke jajarannya, para guru dan para birokrat pendidikan terkait Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan, karena ternyata Permendikbud tersebut belum diimplementasi oleh para pendidik maupun para birokrat pendidikan.
Padahal isi Permendikbud ini sangat rinci dalam mendefiniskan jenis-jenis kekerasan dan sanksinya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasannya jelas.
2. KemendikbudRistek bekerjasama dengan Dinas-Dinas Pendidikan Provinsi/ Kota/Kabupaten perlu membuat program pelatihan berkesinambungan kepada para pimpinan sekolah untuk menginternalisasi dan menguatkan skill bangaimana mengembangkan literasi dan moderasi beragama pada saat yang akan datang, baik dilingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas.
Hal ini juga mendukung Kurikulum Merdeka yang telah dicanangkan KemendikbudRistek, sehingga bisa disinergikan program sosialisasi dan pelatihannya.
3. KemendikbudRistek juga perlu menggalakkan sosialisasi Permendikbud No. 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, agar tidak ada lagi pemaksaaan maupun pelarangan penggunaan jilbab bagi peserta didik.