Pemalang, detikline.com - Wartawan merupakan profesi yang memerlukan kecakapan situasi, kondisi, toleransi, diskusi, pandangan dan jangkau...
Pemalang, detikline.com - Wartawan merupakan profesi yang memerlukan kecakapan situasi, kondisi, toleransi, diskusi, pandangan dan jangkauan, dalam berpikir.
Semua orang bisa menjadi wartawan, akan tetapi seni menulis, merangkai kalimat, dengan bahasa sajian yang unik dan menarik, dengan akurasi data yang nyata, serta narasi sumber, yang dapat di pertanggung jawabkan, baik secara realitas, maupun secara keilmuan, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Adalah Raden Mas Panji Sosrokartono, yang merupakan kakak kandung pahlawan perempuan Nasional RA Kartini, yang lahir pada tahun 1877, seorang pribumi putra pertama, yang bisa kuliah di luar negeri yaitu Belanda, beliau sangat disayang oleh para dosennya, karena kecerdasannya.
Yang lebih membanggakan Kartono begitu dirinya biasa di panggil, mampu menguasai 27 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara dengan fasih.
RM Panji Sosrokartono atau Kartono, Pangeran Ganteng dari tanah Jawa tersebut, pinter bergaul, anak orang kaya, terkenal akan tetapi sangat dekat dengan rakyat.
Banyak wanita Eropa saat itu, menyebutnya dengan *De Mooie Sos* yang berarti Sos itu ganteng.
Orang bule Eropa dan Amerika menyebutnya dengan bahasa hornat *De Javanese Prins* yang artinya Pangeran Jawa, akan tetapi sesama orang pribumi, memanggil nya *Kartono* saja.
Pada tahun 1917 beliau menjadi Wartawan perang pada saat terjadi perang dunia 1 pada media Koran Amerika " The Newyork Herald cabang Eropa.
Kartono memadatkan artikel bahasa Perancis, pada sejumlah 30 kata, dalam 4 bahasa, yakni Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis.
Sebagai wartawan perang oleh sekutu, diberi pangkat Mayor, tapi menolak untuk membawa senjata, kata beliau "saya tidak menyerang orang, oleh karena itu sayapun tidak akan diserang, jadi apa perlunya membawa senjata"? kata Kartono.
Kartono sangat ahli Diplomasi, dirinya sempat menggegerkan Eropa dan Amerika, dengan artikelnya tentang perundingan Jerman dan Perancis, yang sangat rahasia dan tertutup, dimana penyelengaraanya di dalam salah satu gerbong kereta api, yang berhenti di tengah hutan, dengan penjagaan super ketat.
Semua wartawan yang sedang mencari informasi dan berita, koran Newyork Herald, telah memuat berita hasil perundingan tersebut.
Pada tahun 1919 Kartono menjadi penerjemah tunggal, di Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian pada tahun 1921 merubah nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB.
Wartawan Indonesia Kartono menjadi Ketua Penerjemah untuk semua bahasa, mengalahkan para Poliglot dari negara-negara Eropa dan Amerika.
Tahun 1925 RM. Panji Sosrokartono pulang ke tanah air, Kihajar Dewantara mengangkatnya, sebagai kepala sekolah menengah di daerah Bandung, Jawa Barat.
Disamping kecerdasan yang di milikinya dalam hal pengetahuan dan Diplomasi, beliau juga di anggap orang pintar dalam menyembuhkan orang sakit.
Masyarakat berjejal mengantri, untuk minta air dan doa darinya, ternyata banyak yang sembuh, termasuk para bule-bule Eropa pada saat itu, akhirnya beliau mendirikan Klinik Darussalam".
Menurut cerita beliau pernah sembuhkan seorang anak orang Eropa, hanya dengan sentuhan-sentuhan tangan, dihadapan para dokter, yang sudah menyerah untuk menangani anak orang Eropa tersebut.
Baik Soekarno maupun Mohammad Hatta, sering berdiskusi dengannya di kediaman rumahnya, dengan kibaran bendera merah putih, tapi anehnya Belanda ataupun Jepang serta sekutu, seolah tak memperdulikannya.
Pada tahun 1951 RM. Panji Sosrokartono, sang wartawan cerdik yang mengusai 27 bahasa asing wafat, dikebumikan di Makam Sidomukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa tengah, di samping makam kedua orang tuanya, yaitu Nyai Ngasirah dan RMA Sosroningrat.
Beliau meninggal dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa, rumah pun beliau menyewa, padahal sebagai *Cendekiawan* dan Putra Bangsawan, bisa saja kehidupan nya mewah.
Orang-orang tidak menemukan Pusaka ataupun Jimat, harta yang di tinggalkan hanya selembar kain bersulam dengan huruf *ALIF*. Pada batu nisan makamnya tertulis kalimat "Sugih tanpo Bondo, diddoyo tanpo aji-aji".
Beliau wartawan hebat tapi sayangnya PWI, tidak pernah menyinggung namanya dalam sejarah Jurnalistik Indonesia.
Beliau tokoh pendidikan, tapi para guru seolah lupa dengan kebesaran namanya, mewarna sejarah pendidikan di Nusantara. Ragil74