Wartawan : Mega Nur A Bekasi, detikline.com - Pasca pengumuman Kapolri Listyo Sigit Prabowo, mencopot tiga perwira tinggi Divpropam Polri d...
Wartawan : Mega Nur A
Bekasi, detikline.com - Pasca pengumuman Kapolri Listyo Sigit Prabowo, mencopot tiga perwira tinggi Divpropam Polri dan sejumlah Perwira Menengah serta Perwira Pertama untuk menghadapi pemeriksaan timsus bentukan Kapolri dalam mengungkap tewasnya Brigadir J dirumah dinas Irjen Ferdy Sambo makin mengundang spekulasi publik.
Feedinand Montororing Ahli Hukum Pidana dari Universitas Mpu Tantular |
Salah seorang ahli hukum pidana dari Universitas Mpu Tantular Ferdinand Montororing yang dihubungi wartawan detikline.com memberikan tanggapan dari segi hukum pembuktian pidana.
"Alat bukti dalam tindak pidana itu secara universal ada tujuh, yakni direct evidence, berupa antara lain saksi mata dan apa yang disebut circumstance evidence yakni fakta adanya orang mati," ujar Ferdinand.
Dari fakta adanya orang mati inilah pekerjaan ahli forensik diminta kinerjanya atas dasar keahlian yang telah diangkat sumpah dalam jabatannya.
Hasil pekerjaan ahli ini dituangkan dalam keterangan ahli untuk kepentingan hukum dan peradilan.
Apa saja barang bukti yang ada dilokasi harus dikumpulkan dan diverifikasi korelasinya untuk mengungkap rangkaian peristiwa terjadinya tindak pidana.
Lebih lanjut Ferdinand menjelaskan, bahwa keterangan ahli ini hanya merupakan secondary evidence yang nantinya akan membentuk colaborating evidence atau rangkaian bukti, untuk membuat terangnya peristiwa pidana, dan mempermudah kerja penyidik atau investigator membuat resume kasus dan menemukan pelaku.
"Jangan lupa barang bukti berupa selongsong peluru, cctv yang dirusak, pakaian korban dan semua benda yang terkait terjadinya tindak pidana walau itu masuk kategori secondary evidence tapi merupakan silent witness yang bisa berbicara setelah dihidupkan oleh ahli forensik," pungkas Ferdinand, yang juga seorang advokat yang berpengalaman dalam menangani perkara pembunuhan dan pelecehan seksual.
Beberapa kasus yang pernah ditanganinya adalah pembunuhan di Kota Palu oleh anak bernama Ferdy membunuh ayahnya dengan membakarnya hidup-hidup, yang dilakukan karena dibawah alam mimpi.
Demikian juga kasus pembunuhan seorang mahasiswi UIN Jakarta tahun 2011 silam di Tangerang yang penuh misteri.
Menanggapi telah ditetapkannya Bharada E sebagai tersangka dengan penerapan pasal 338 juncto pasal 55 dan 56 KUHP sebagaimana disampaikan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto saat mendampingi Kapolri mengumumkan pencopotan sejumlah perwira Polri, Ferdinand melihatnya sebagai kemajuan yang signifikan.
Kalau sudah ditetapkan tersangka Bharada E artinya tindakan Bharada E tidak bisa lagi disebut pembelaan diri terpaksa atau noodweer sebagaimana diatur pasal 49 KUHP.
Bahkan tidak bisa lagi disebut tindakan daya paksa atau over macht sebagaimana ditentukan pasal 48 KUHP, artinya perbuatan Bharada E tidak ada unsur pemaaf dan pembenar, bahkan sudah pintu masuk sudah dibuka untuk menjerat pelaku lain dengan telah ditetapkan adanya unsur pasal 55 dan 56 KUHP.
Apalagi sudah ada sejumlah anggota Polri yang ditahan untuk kepentingan pemeriksaan etik, karena merusak tempat kejadian perkara atau TKP.
Menurut Ferdinand, memang tidak otomatis Bharada E dan tersangka lain pasti sudah bersalah.
Sepanjang mereka mampu membuktikan bahwa tindakan Bharada E adalah sungguh-sungguh over macht atau noodweer, nanti hakim pengadilan yang akan menilai.
Setelah mengikuti pemberitaan media yang terus ramai menguak kasus terbunuhnya Brigadir J, Ferdinand berpendapat bahwa metode scientivic investigation memang tidak seratus persen bisa mengungkap suatu tindak pidana.
"Sebagai contoh tewasnya Presiden AS John F. Kenedy, namun demikian tidaklah terlalu sulit untuk mengungkap kematian Brigadir J dengan segala motifnya, apabila tim bekerja secara independen dan penuh integritas," ujar Ferdinand menutup wawancara.