GfM7TSA8TfMiTpM6GSG7BSzlGd==
28 May 2025

FSGI Usulkan Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Situasi Darurat dan Tolak Pasal 126 RUU Sisdiknas

Lk
Font size:
12px
30px
Print

Jakarta, detikline.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (KemdikbudRistek) memiliki prakarsa perubahan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

Kedua UU ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022. Kedua UU tersebut ditambah UU RI tentang Pendidikan Tinggi akan dilebur dalam UU RI tentang Ciptakerja atau Omnibus Law. 

Dalam draft RUU tersebut, ada beberapa catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), yaitu :

Pertama, dari draft RUU pada Pasal 126 yang berbunyi bahwa, penetapan kode etik guru oleh Mendikbud-Ristek RI berdasarkan masukan dari organisasi profesi guru. Pasal ini merupakan perubahan dari pasal 42 UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dimana salah satu kewenangan organisasi profesi guru adalah menetapkan dan menegakan kode etik bagi anggota. Pasal 126 mengambil alih kewenangan organisasi guru dalam menegakkan kode etik dari organisasi profesi ke KemdikbudRistek.  

“Perubahan tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan, perkembangan, dan kemandirian organisasi profesi guru. Guru dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, wibawa, kemandirian dan kebebasan dalam pembinaan, dan pengembangan guru ke depannya akan mengalami hambatan," ujar Heru Purnomo, Sekretaris Jenderal FSGI. 

ads banner

Heru menambahkan, bahwa FSGI memiliki sejumlah alasan terkait keberatan jika pasal 42 yang mengatur tentang  kewenangan organisasi guru pada UU RI No 14 tahun 2005 diubah dan diambil alih Negara berdasarkan pasal 126 RUU tersebut, dengan alasan sebagai berikut :

(1) Perubahan kewenangan menetapkan dan menegakkan kode etik guru diubah menjadi kewenangan dari KemdikbudRistek sangat bertentangan dengan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 pasal 42. Pasal 42 angka 1 mengatur bahwa penetapan dan penegakan kode etik guru adalah kewenangan pengurus organisasi profesi guru.

(2) Kemerosotan dalam Demokrasi di Republik ini. Di Negara Demokrasi, seharusnya pemerintah bukan mengontrol guru, memang seharusnya Pemerintah memberikan kepercayaan kepada organisasi profesi guru dalam penetapan dan penegakan kode etik guru sesuai amanat Undang-Undang.

(3) Pelanggaran etik, bukan pelanggaran hukum. Jadi seharusnya, Guru yang melanggar kode etik disanksi peringatan sampai kepada pencabutan dari daftar keanggotaan organisasi profesi oleh organisasi profesinya sendiri, bukan oleh Mendikbud-Ristek.  KemdikbudRistek akan sangat repot jika mengurusi pelanggaran etik para guru se-Indonesia yang jumlah mencapai jutaan guru. 

(4) Lembaga/Kementerian negara itu berwibawa karena pembuat peraturan perundang-undangan yang sifatnya dapat mengatur, mengikat, memaksa, dan menghukum. Kode etik tidak masuk klasifikasi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga hal tersebut tidak linier dengan hukum kebiasaan yang sudah mengakui bahwa tugas Pemerintah itu Penegak Peraturan dan demi kewibawaan 

“Pemerintah sebagai penegak peraturan maka peran dan fokus tugas hanya satu sebagai penegak peraturan, sedangkan penetapan dan penegak kode etik tetap diberikan kepercayaan kepada organisasi profesi guru," ujar Mansur, Wakil Sekjen FSGI. 

(5) Selain itu, jika guru berstatus PNS melakukan pelanggaran, maka Guru PNS yang melanggar peraturan perundang-undangan tersebut dapat disanksi sesuai pasal 77 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, dan guru swasta dapat diberhentikan karena melanggar kesepakatan kerja bersama sesuai pasal 30 UUGD. Jadi tidak perlu KemdikbudRistek membuat ketentuan sendiri yang justru tumpang tindih dengan peraturan perundangan yang sudah ada dan sudah baik. 

“Undang-undang Guru dan Dosen dan Peraturan Disiplin PNS sudah cukup kuat sebagai payung hukum untuk melindungi martabat dan kehormatan profesi guru negeri-swasta, sehingga tidak perlu penguatan kode etik guru menggunakan revisi UU Sisdiknas dan Peraturan Mendikbud-Ristek RI," pungkas Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI.

Kedua, dalam draft RUU ini, FSGI belum menemukan pasal terkait “Penyelenggaraan Pendidikan Nasional di Situasi Darurat”. 

Situasi darurat yang dimaksud bisa saja  karena bencana alam maupun bencana non alam seperti pandemic covis-19 yang sudah berlangsung selama 2 tahun. Bencana non alam pun berulang kali dialami beberapa wilayah di Indonesia, misalnya ketika terjadi gempa bumi, gunung meletus, bencana asap akibat kebakaran hutan, bencana banjir bandang, Tsunami, dan lain-lain yang bisa mengakibatkan peserta didik tidak bisa bersekolah tatap muka. 

Wilayah Indonesia rentan mengalami gempa bumi karena wilayah Indonesia berada di atas lempeng dunia yang terus bergerak dan mengalami pengulangan. 

“Bencana gempa bumi yang pernah melanda Lombok (NTB) dan Palu (Sulawesi Tengah) misalnya berdampak runtuhnya gedung-gedung sekolah, untuk memperbaiki atau membangunnya kembali butuh waktu yang tidak sedikit, bisa berbulan-bulan lamanya. Nah, disinilah pemerintah Indonesia seharusnya sudah siap menggunakan “Penyelenggaraan Pendidikan dalam situasi darurat," ujar Heru.

Heru menambahkan, ketiadaan ketentuan tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Di Masa Darurat” berdampak pada “kegagapan” semua pihak saat ada bencana di Indonesia. Sehingga setiap ada bencana di suatu daerah, sulit bagi sekolah dan Dinas Pendidikan menanggulangi dampak terhadap sektor pendidikan.

Adapun ketentuan substansi yang perlu ada dalam perubahan UU Sisdiknas, khususnya pasal tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Situasi Darurat” diantaranya adalah : 

Pertama, dalam hal standar isi, Pemerintah wajib  menyiapkan dua jenis kurikulum nasional, yaitu kurikulum dalam kondisi normal dan kurikulum dalam kondisi darurat.

Kedua, dalam hal tenaga pendidik, Pemerintah wajib menyiapkan para pendidik untuk mampu melakukan proses pembelajaran dalam situasi normal maupun situasi darurat.

Ketiga, dalam hal standar penilaian, Pemerintah harus menyiapkan standar penilaian untuk situasi normal maupun situasi darurat, sehingga pendidik dan peserta didik tidak dibebani target pencapaian di saat kondisi darurat.

“Karena tidak mungkin melaksanakan pembelajaran secara normal di wilayah yang sedang mengalami bencana alam/non alam”, pungkas Mansur, guru di Lombok yang pernah merasakan pendidikan darurat pasca gempa bumi di Lombok tahun 2018 lalu.*Lk

Reaksi:
ads banner

0Comments

Silahkan berkomentar dengan sopan