Oleh: Shalda Puteri Hawari
Jakarta, detikline.com - Sudan merupakan negara yang terletak di Afrika Timur yang sedang mengalami ketidakstabilan politik sejak 2019 setelah terjadi penggulingan Presiden saat itu yakni Omar al-Bashir.
Penggulingan Presiden Omar al Bashir dilakukan oleh koalisi antara Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala militer yang kini memimpin pemerintahan sementara, dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), pemimpin RSF.
Setelah berhasil menggulingkan Presiden yang menjabat selama 30 tahun itu, kedua kelompok ini sempat menjadi koalisi untuk memimpin pemerintahan yang baru.
Tetapi pada 2023 mulai terjadi perbedaan pandangan pada politik pemerintahan pada koalisi tersebut terutama pada perselisihan mengenai integrasi RSF ke militer pemerintah secara penuh.
Pemimpin RSF yakni Hemediti merasa terancam dengan rencana integrasi tersebut karena dianggap dapat mempersempit kekuasaan kelompoknya. Sehingga memicu perang-perang yang hingga kini telah memakan 150.000 korban jiwa.
Pembantaian etnis yang tak terbendung
Situasi perang saudara saat ini menunjukkan bahwa eskalasi kekerasan tidak lagi sekadar soal perebutan kekuasaan militer.
Serangan yang terjadi memicu indikasi terjadinya kekerasan berbasis etnis atau pemusnahan salah satu etnis. Wilayah Darfur sejak lama dihuni oleh berbagai kelompok etnis non-Arab, seperti Masalit, Fur, dan Zaghawa.
Pada perang saudara yang terjadi hingga kini, kelompok-kelompok tersebut kembali dilaporkan menjadi sasaran serangan milisi Rapid Support Forces (RSF).
Situasi ini berkaitan dengan sejarah kekerasan di Darfur pada awal 2000-an, ketika RSF yang saat itu masih berakar dari milisi Janjaweed dituduh terlibat dalam operasi penyerangan terhadap komunitas non-Arab.
Kurang lebih tercatat 2.000 nyawa yang tewas semenjak terjadinya pengepungan yang dilakukan RSF di kota El Fasher, ibu kota Darfur Utara. Dengan latar belakang historis tersebut, banyak pihak menilai pola kekerasan yang muncul saat ini bukan insiden baru, melainkan kelanjutan dari praktik penargetan berbasis etnis yang pernah terjadi di wilayah tersebut.
Kurang lebih tercatat 2.000 nyawa yang tewas dan 65.000 orang yang melarikan diri semenjak terjadinya pengepungan yang dilakukan RSF di kota El Fasher, ibu kota Darfur Utara.
Jika dikaitkan dengan kerangka hukum internasional, tindakan ini termasuk jeni pelanggaran HAM berat seperti war crime, crime against humanity, hingga ethnic cleansing.
Bahkan, dalam konteks tertentu, tindakan seperti ini dapat bergerak menuju kategori genosida jika ditemukan unsur niat atau intent untuk menghancurkan kelompok tertentu secara keseluruhan atau sebagian, sebagaimana diatur dalam Pasal II Genocide Convention dan Rome Statute ICC.
Tubuh Perempuan Jadi Medan Perang Sudan
Kekerasan seksual telah menjadi salah satu pola kekerasan sistematis yang muncul selama konflik Sudan, khususnya sejak eskalasi kekerasan antara Rapid Support Forces (RSF) dan Sudanese Armed Forces (SAF) pada April 2023.
Amnesty International melaporkan bentuk kekerasan seksual yang dilakukan tentara RSF. Mereka memperkosa 36 perempuan dan anak perempuan berusia 15 tahun secara bersama-sama.
Pelanggaran tersebut meliputi pemerkosaan seorang ibu setelah merobek bayi yang disusuinya dan perbudakan seksual selama 30 hari terhadap seorang perempuan di Khartoum, serta pemukulan parah, penyiksaan dengan cairan panas atau pisau tajam, dan pembunuhan.
Amnesty Internasional juga melakukan wawancara sebagian besar penyintas dan kerabat penyintas di kamp-kamp pengungsi Uganda.
Semua hasil wawancara membenarkan RSF pelaku yang melakukan serangan terhadap warga dan juga pelaku kekerasan seksual.
Tentara RSF bahkan melakukan kekerasan-kekerasan tersebut di hadapan warga, tentara dan korban lainnya yang memperkuat bahwa pelaku tidak takut terhadap balasan apapun sehingga tidak menyembunyikan perlakuan kejam tersebut.
Contohnya yang terjadi di Madani, Gezira, dilaporkan bahwa tiga anggota RSF memperkosa seorang perempuan secara bergiliran, sementara putrinya dan seorang kerabat berusia 12 tahun dipaksa menyaksikan kejadian tersebut.
Korban menjelaskan bahwa peristiwa itu meninggalkan dampak psikologis mendalam, terutama karena tindakan tersebut dilakukan secara terbuka dengan tujuan mempermalukan dan merendahkan martabatnya.
Dari sudut pandang hukum HAM internasional, praktik kekerasan seksual yang terjadi di Sudan tentu termasuk ke dalam pelanggaran serius terhadap norma-norma yang diatur dalam instrumen seperti Konvensi Jenewa, Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Melihat para sikap para tentara RSF yang melakukan kekerasan seksual di hadapan orang secara terbuka menunjukkan bahwa perang yang terjadi sudah sangat mencoreng HAM bagi para warga sipil disana.
RSF yang tidak menunjukkan rasa malu atau usaha untuk menyembunyikan tindakan kekerasan seksual ini menunjukkan bahwa kekerasan tersebut bukan sekadar alat pembungkaman individu, tetapi digunakan sebagai pesan politik: bahwa tubuh perempuan dijadikan arena dominasi, hukuman, dan penanda kekuasaan etnis dan militer. Di titik ini, pelanggaran HAM tidak lagi hanya terjadi pada level personal, tetapi bergerak menjadi strategi kekerasan sistemik yang menargetkan keberadaan sosial dan identitas kolektif suatu kelompok.
Mengapa Dunia Tutup Mata?
Pelanggaran HAM yang terjadi di Sudan masih jauh dari perhatian internasional bahkan tercatat masuk ke koridor krisis kemanusiaan yang terlupakan.
Konflik perang saudara yang terjadi di Sudan semakin sulit untuk mencapai jalan tengah karena adanya aktor-aktor lain yang juga memiliki kepentingan sehingga semakin memperkeruh konflik yang ada.
Seperti dugaan bahwa RSF di indikasi menerima bantuan dari pihak Uni Emirat Arab dan SAF yang di dukung oleh Mesir. Semua pihak di balik konflik memiliki tujuannya masing-masing.
Kepentingan ini juga yang akhirnya mempengaruhi situasi di PBB yang juga mengalami perpecahan dalam menanggapi konflik di Sudan.
Gagalnya penerapan prinsip Responsibility to Protect (R2P) terlihat jelas dalam konflik Sudan. Padahal, doktrin ini lahir setelah tragedi Rwanda dengan tujuan memastikan komunitas internasional mencegah genosida dan kejahatan massal serupa terulang kembali.
Namun dalam kenyataannya, respon dunia terhadap krisis Sudan menunjukkan bahwa norma internasional seperti R2P masih lemah karena tidak memiliki mekanisme penegakan yang konsisten terutama ketika kepentingan politik global dan dinamika geopolitik menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan.
Sehingga tidak ada pihak yang benar-benar ingin menghentikan perang ini dan elemen kemanusiaan kembali menjadi elemen paling terakhir untuk diperhatikan.
Selain itu, akses ke wilayah konflik semakin tertutup bagi aktor kemanusiaan dan pemantau independen. Pemerintah maupun kelompok bersenjata membatasi pergerakan lembaga bantuan dengan penolakan visa, pemutusan akses internet, serta intimidasi terhadap jurnalis termasuk pembunuhan dan penghilangan paksa pekerja media lokal.
Kondisi tersebut menciptakan information blackout yang membuat proses verifikasi independen hampir tidak mungkin dilakukan. Akibatnya, informasi yang keluar ke dunia internasional hanya berupa potongan rekaman amatir yang tidak berkesinambungan, sehingga tidak mampu membangun tekanan politik global yang kuat.
Hambatan informasi ini turut menjelaskan mengapa respons internasional tetap pasif tanpa data terverifikasi dan advokasi publik yang masif, konflik Sudan cenderung dipersepsikan sebagai isu perifer, bukan krisis kemanusiaan yang mendesak. Redaksi detikline.com.
.jpeg)
0Komentar