Jakarta, detikline.com - Lagi-lagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dicoreng oleh ulah oknum institusi baju coklat. Kali ini, terindik...
Jakarta, detikline.com - Lagi-lagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dicoreng oleh ulah oknum institusi baju coklat.
Kali ini, terindikasi dilakukan oleh seorang oknum Kanit di Mapolsek Duren Sawit, Polres Metro Jakarta Timur Polda Metro Jaya.
Persoalan hukum yang dijalani Umar Said (US) dan Zulkifli (Z) sejak tanggal 30 Januari 2023 sampai hari ini tidak jelas status penahanannya.
Hal itu dikatakan kuasa hukum (US) dan (Z), Angga Dwi Prasetyo dari kantor hukum Puguh Triwibowo, ST, SH dan Partner di depan halaman Mapolsek Duren Sawit yang terletak di Jalan Raya Kalimalang, Duren Sawit Kecamatan Duren, Sawit, Jakarta Timur pada, Rabu (15/3/2023) malam.
Prasetyo menyebutkan, bahwa persoalan hukum kliennya menjadi bias, karena tidak adanya SPDP, SP2HP dan surat perpanjangan penahanan terhadap (US) dan (Z) setelah berakhirnya penahanan kliennya sejak Minggu, 19 Februari 2023.
"Oknum Kanit AKP Slamet Suprihadi itu seperti seolah-olah tak paham prosedural hukum. Klien kami dibuatnya bukan seperti manusia, ditahan tapi tidak jelas statusnya. SPDP, SP2HP dan perpanjangan penahanan juga tidak diberikan ke keluarga atau ke kami sebagai kuasa hukumnya," ujar Prasetyo, paska menemui Kapolsek Duren Sawit Kompol Sutikno pengganti Kompol Marbun.
Lebih rinci, Prasetyo juga mengatakan, penyidik wajib memberitahukan perkembangan penyidikan dan perpanjangan penahanan ke keluarga dan kuasa hukumnya, jika tidak ada surat pemberitahuan itu, maka kliennya harus dibebaskan demi hukum.
"KUHAP mengatur secara tegas lama waktu penahanan tersangka. Untuk tingkat penyidikan dan penuntutan, ketentuan waktu penahanan tersangka diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25. Pada tingkat penyidikan di kepolisian, lama penahanan tersangka adalah 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari," tegasnya.
Selain itu, dia juga mengulas prosedural hukum yang dilakukan penyidik Polsek Duren Sawit telah menyimpang dari amanah KUHAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP.
Berdasarkan keterangan Kapolsek Duren Sawit, Kompol Sutikno, kata Prasetyo, bahwa dirinya (selaku Kapolsek) belum mendapatkan laporan berkas perkara (US) dan (Z).
Dirinya juga mengklaim bahwa Kanitnya AKP Slamat maupun Kapolsek sebelumnya yakni Kompol Marbun tidak memberikan keterangan apapun soal perkara tersebut.
"Saya belum mendapatkan berkas perkara mereka loh, Kanit saya dan Kapolsek sebelum saya disini pun tidak menyinggung kasus (US) dan (Z). Nanti saya panggil Kanit untuk menjelaskan semuanya kenapa tidak diterbitkannya SPDP, SP2HP dan Perpanjangan Penahanan terhadap (US) dan (Z)," kata Kompol Sutikno.
Sementara Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Provinsi DKI Jakarta, Erwin Ramali mengkritik kinerja penyidik Polsek Duren Sawit.
"'Nggak bener itu penyidik dan Kanitnya. Orang ditangkap dan ditahan harus jelas status penahanannya. Itu kan sudah jelas SPDP harus diterbitkan, jika tidak dikeluarkan maka yang ditahan harus dibebaskan demi hukum," ungkap Erwin saat ditemui di Jakarta, Rabu (15/3/2023) malam.
Erwin dalam pemaparannya juga menjelaskan, sehari saja polisi menahan seseorang tanpa adanya status yang jelas baik SPDP maupun surat perpanjangan penahanan, maka harus dibebaskan, karena itu sudah melanggar hak - hak asasi manusia dan konstitusional.
"Ada dugaan kuat kejahatan terstruktural dan masif dalam penanganan perkara hukum warga yang dilakukan oleh oknum polisi di Mapolsek Duren Sawit. Maka dari itu, LCKI meminta Kapolri melalui Divisi Propamnya untuk mencopot penyidik yang menangani perkara itu, termasuk eks Kapolsek Duren Sawit yang kini menjabat sebagai Kanit 1 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya untuk diperiksa," imbuhnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem) FH-UMI, Dr. Fahri Bachmid berpendapat penyidik tidak mutlak menahan seseorang.
"Menahan orang itu tidak mutlak, tapi semuanya itu tergantung pertimbangan penyidik. Itu semua subjectif dari penyidik yach," papar Fahri.
Tersangka, dalam case ini, lanjut Fahri, merupakan juga mempunyai hak untuk menguji status penahanannya melalui lembaga praperadilan (prapid).
"Penyidik hanya mempunyai kuota waktu 20 hari untuk menahan orang. Karena selebihnya perpanjangan penahanan itu melalui ketua Pengadilan Negeri (PN) sesuai dengan domisili hukum. Kalau itu tidak ada, maka penahanan orang dianggap tidak sah yach, jadi orang itu harus dibebaskan, harus dikeluarkan dari tahanan," ungkapnya.
Fahri juga menerangkan jika penyidik atau pihak instansi lainnya dalam hal ini Pengadilan Negeri tidak dapat memperlihatkan surat perpanjangan penahanan orang, maka Hakim pra peradilan dapat mengukur ketidakabsahan itu.
Untuk SPDP, diterangkan Fahri, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130 tahun 2015, bahwa SPDP wajib diberikan kepada tersangka (keluarganya) atau terlapor, penasihat hukum terlapor, pelapor, atau pun kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) paling lama 7 hari setelah dilakukannya proses penyidikan.
"Jadi hitung saja sejak ditahannya seseorang itu tanggal 30 Januari 2023, maka 7 hari setelah itu SPDP harus diberikan, tapi kalau penyidik lalai tidak memberikan SPDP sesuai perintah Mahkamah Konstitusi (MK), maka seluruh rangkaian penyidikan yang dilakukan penyidik adalah ilegal, dianggap tidak sah dan harus dibatalkan demi hukum. Itu sudah diatur dalam konsekuensi hukum dan yuridis yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi," tandasnya. (Tohom)